Bagi umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa, met berpuasa ya!
Sebenernya saya malas menulis di bulan puasa begini. Berhubung jari saya gatal karena kemarin sempat membaca sebuah artikel bit.ly/1GesZTh dari situs midotcom tentang ateis, di sini saya sedikit menanggapi bahwa artikel tersebut masih mempunyai kesalahan fatal memandang ateis, so saya membuat anda membaca tulisan sampah ini deh. Ehehe.
Menurut saya, dalam artikel tersebut sayangnya masih memakai argumen “naik pesawat kalau jatuh…” alias fear mongering. Tentang ilustrasi pesawat jatuh untuk ateis itu masih Appeal to Emotion. Argumen yang sama untuk menakuti anak-anak kecil biar tidak nakal biar dapat hadiah di akhir tahun dari sinterklas. Atau seperti argumen George Bush untuk menyerang Irak pasca 9-11 karena “they hate our freedom so we gotta attack first.. WMD, WMD, WMD!” Ketakutan itu bisa fabricated, bisa menjadi natural. Orang yang sedang sadar di ambang kematian ya wajar kalau merasa takut. Dalam kasus perang Irak atau mitos sinterklas tidak membagi hadiah buat anak yang bandel, jelas ketakutan tersebut fabricated. Tapi terlepas apakah itu natural atau fabricated, ketakutan itu sendiri umumnya bukan argumen kuat. Kalau saya ditanya kenapa takut mati, ya alasannya banyak. Karena tidak bisa bertemu keluarga, pasangan, dan teman-teman misalnya. Ada juga yang takut mati karena merasa tujuan hidupnya belum terpenuhi. Misalnya belum nikah, belum punya anak, dll. Dan saya kira itu wajar. Karena mati itu irreversible, tidak bisa dibalik lagi. Ini yang menjadi ultimate fear peradaban dari dulu, sehingga agama seakan menjadi jawaban.
Dulu waktu saya masih beragama, ada kepuasan tersendiri jika berargumen dengan ateis, terutama tentang kematian. Setelah menjadi ateis, justru membuat saya berpikir betapa sempitnya paradigma saya waktu itu. Konsep neraka di mata ateis mirip seperti mitos sinterklas tadi. Camkan ini: ketakutan akan kematian bukanlah bukti bahwa tuhan itu eksis. Apakah anak-anak kecil di Amerika dapat hadiah di akhir tahun? iya. Apakah 9-11 dan perang Irak itu nyata? iya. Tetapi eksisnya itu semua bukan berarti sinterklas eksis. Bukan pula berarti wmd (weapon of mass destruction) eksis. Kalau argumen fear mongering seperti itu sudah patah, biasanya lari ke argumen pascal wager. Memainkan untung dan rugi: “Sudah lah percaya saja sama tuhan sudah mau mati juga. Kalau pun tidak ada tuhan toh kamu tidak rugi.
Kepercayaan tidak bisa dipaksakan gaes. Kadang saya berpikir, berarti saat mau mati jadi bermain licik-licikan sama tuhan. Masa tuhan yang katanya maha tahu bisa dilicikin? Apakah karena saya ingin untung, saya (pura-pura) percaya tuhan ada supaya tidak masuk neraka karena di ambang kematian? Bukankah karakter asli manusia timbul ketika dia dalam keadaan sejahtera? Bukan di mana dia lagi susah atau saat akan mati? Apakah si maha tahu tidak tahu manusia yang paling licik dan sadis pun bisa meminta ampun supaya tidak dihukum? Kalau si maha tahu (jika benar eksis) ternyata bisa dilicikin, buat apa saya mengiba ke dia pas akan mati? apakah masih layak disebut maha tahu?
Seperti para pedagang obat, agama memang menggunakan kematian untuk menjual doktrin mereka. Lihatlah berapa banyak yang menawarkan obat dan terapi untuk penyakit-penyakit terminal yang belum ada obatnya seperti Aids, Kanker, dll. Tapi kenapa kematian harus diperlakukan sama, sehingga harus ditawarkan “obat” alternatif (baca: surga) supaya tidak mati selamanya? Kenapa tidak diperlakukan sebagai bagian dari proses hidup, ada kelahiran, ada kematian sehingga bisa lebih “nerimo”.
Itulah paradigma saya tentang kematian. Kematian merupakan bagian dari hidup. Dan hidup ini hanya sekali. Tak perlu diiming-imingi, diperpanjang menjadi selamanya. Sekarang menjadi ateis saya malah jauh lebih bisa menerima. Tak ada penyesalan. Tidak bermimpi mengawang-awang dan tidak ada nightmare juga tentang neraka.
Coba anda renungkan, kenapa agama selalu menggunakan kematian untuk mengancam? Apakah anda menyembah dewa kematian seperti agama-agama politeis? Apakah dewa anda tidak berkuasa di hidup seorang manusia, sehingga harus menunggu si manusia itu mati dulu baru bisa dihukum? Itulah alasan paling kuat kenapa saya ateis. Agama-agama dan konsep tuhan mereka selalu bermain di lorong gelap. Karena gelap atau ketidaktahuan mereka bisa mengklaim apa saja. Penyakit kusta lah, mandul lah, gempa bumi, kematian, dll. Jaman sekarang orang sudah tahu kenapa manusia bisa terkena kusta, mandul, dan kenapa miskin. Dijawab “karena azhab” hanya menjadi bahan tertawaan. Kartu kuncian agama yah? tinggal main di kematian karena masih menjadi misteri. Apakah manusia bisa tidak mati? bisa jadi. Kalau ini terjadi, apalagi yang akan digunakan agama untuk menjual tuhan mereka? Mungkin akan menjadi relic, seperti halnya agama-agama terdahulu. Huhuhu