Menjual Kematian

Standard

Bagi umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa, met berpuasa ya!

Sebenernya saya malas menulis di bulan puasa begini. Berhubung jari saya gatal karena kemarin sempat membaca sebuah artikel bit.ly/1GesZTh  dari situs midotcom tentang ateis, di sini saya sedikit menanggapi bahwa artikel tersebut masih mempunyai kesalahan fatal memandang ateis, so saya membuat anda membaca tulisan sampah ini deh. Ehehe.

Menurut saya, dalam artikel tersebut sayangnya masih memakai argumen “naik pesawat kalau jatuh…” alias fear mongering. Tentang ilustrasi pesawat jatuh untuk ateis itu masih Appeal to Emotion. Argumen yang sama untuk menakuti anak-anak kecil biar tidak nakal biar dapat hadiah di akhir tahun dari sinterklas. Atau seperti argumen George Bush untuk menyerang Irak pasca 9-11 karena “they hate our freedom so we gotta attack first.. WMD, WMD, WMD!” Ketakutan itu bisa fabricated, bisa menjadi natural. Orang yang sedang sadar di ambang kematian ya wajar kalau merasa takut. Dalam kasus perang Irak atau mitos sinterklas tidak membagi hadiah buat anak yang bandel, jelas ketakutan tersebut fabricated. Tapi terlepas apakah itu natural atau fabricated, ketakutan itu sendiri umumnya bukan argumen kuat. Kalau saya ditanya kenapa takut mati, ya alasannya banyak. Karena tidak bisa bertemu keluarga, pasangan, dan teman-teman misalnya. Ada juga yang takut mati karena merasa tujuan hidupnya belum terpenuhi. Misalnya belum nikah, belum punya anak, dll. Dan saya kira itu wajar. Karena mati itu irreversible, tidak bisa dibalik lagi. Ini yang menjadi ultimate fear peradaban dari dulu, sehingga agama seakan menjadi jawaban.

Dulu waktu saya masih beragama, ada kepuasan tersendiri jika berargumen dengan ateis, terutama tentang kematian. Setelah menjadi ateis, justru membuat saya berpikir betapa sempitnya paradigma saya waktu itu. Konsep neraka di mata ateis mirip seperti mitos sinterklas tadi. Camkan ini: ketakutan akan kematian bukanlah bukti bahwa tuhan itu eksis. Apakah anak-anak kecil di Amerika dapat hadiah di akhir tahun? iya. Apakah 9-11 dan perang Irak itu nyata?  iya. Tetapi eksisnya itu semua bukan berarti sinterklas eksis. Bukan pula berarti wmd (weapon of mass destruction) eksis. Kalau argumen fear mongering seperti itu sudah patah, biasanya lari ke argumen pascal wager. Memainkan untung dan rugi: “Sudah lah percaya saja sama tuhan sudah mau mati juga. Kalau pun tidak ada tuhan toh kamu tidak rugi.

Kepercayaan tidak bisa dipaksakan gaes. Kadang saya berpikir, berarti saat mau mati jadi bermain licik-licikan sama tuhan. Masa tuhan yang katanya maha tahu bisa dilicikin? Apakah karena saya ingin untung, saya (pura-pura) percaya tuhan ada supaya tidak masuk neraka karena di ambang kematian? Bukankah karakter asli manusia timbul ketika dia dalam keadaan sejahtera? Bukan di mana dia lagi susah atau saat akan mati? Apakah si maha tahu tidak tahu manusia yang paling licik dan sadis pun bisa meminta ampun supaya tidak dihukum? Kalau si maha tahu (jika benar eksis) ternyata bisa dilicikin, buat apa saya mengiba ke dia pas akan mati? apakah masih layak disebut maha tahu?

Seperti para pedagang obat, agama memang menggunakan kematian untuk menjual doktrin mereka. Lihatlah berapa banyak yang menawarkan obat dan terapi untuk penyakit-penyakit terminal yang belum ada obatnya seperti Aids, Kanker, dll. Tapi kenapa kematian harus diperlakukan sama, sehingga harus ditawarkan “obat” alternatif (baca: surga) supaya tidak mati selamanya? Kenapa tidak diperlakukan sebagai bagian dari proses hidup, ada kelahiran, ada kematian sehingga bisa lebih “nerimo”.

Itulah paradigma saya tentang kematian. Kematian merupakan bagian dari hidup. Dan hidup ini hanya sekali. Tak perlu diiming-imingi, diperpanjang menjadi selamanya. Sekarang menjadi ateis saya malah jauh lebih bisa menerima. Tak ada penyesalan. Tidak bermimpi mengawang-awang dan tidak ada nightmare juga tentang neraka.

Coba anda renungkan, kenapa agama selalu menggunakan kematian untuk mengancam? Apakah anda menyembah dewa kematian seperti agama-agama politeis? Apakah dewa anda tidak berkuasa di hidup seorang manusia, sehingga harus menunggu si manusia itu mati dulu baru bisa dihukum? Itulah alasan paling kuat kenapa saya ateis. Agama-agama dan konsep tuhan mereka selalu bermain di lorong gelap. Karena gelap atau ketidaktahuan mereka bisa mengklaim apa saja. Penyakit kusta lah, mandul lah, gempa bumi, kematian, dll. Jaman sekarang orang sudah tahu kenapa manusia bisa terkena kusta, mandul, dan kenapa miskin. Dijawab “karena azhab” hanya menjadi bahan tertawaan. Kartu kuncian agama yah? tinggal main di kematian karena masih menjadi misteri. Apakah manusia bisa tidak mati? bisa jadi. Kalau ini terjadi, apalagi yang akan digunakan agama untuk menjual tuhan mereka? Mungkin akan menjadi relic, seperti halnya agama-agama terdahulu. Huhuhu

Ketika Agama Memerkosa Budaya

Standard

Tahukah Anda? Sekarang sebagian kaum beragama sudah ada yang menganggap kisah adam itu sebagai metafora. Saya sih tidak heran kalau 100 atau 500 tahun lagi mayoritas manusia akan menganggap kisah manusia terbuat dari lempung tanah liat sebagai mitologi. Tetapi, karena doktrin kepercayaan tentang isi kitab suci itu tidak pernah salah, akhirnya ketika bentrok terhadap sains pun tetap benar, walaupun itu menjadi metafor.

Apakah kebudayaan itu penting? Jelas penting. We define ourselves with our culture. Our Society is ordered through culture. Tapi seberapa penting? Bagi saya, itu sejauh sampai manusia merasakan manfaat dan kebenarannya. Dulu saya pernah cerita detail di artikel sebelumnya, bagaimana penyebaran agama melalui peperangan, perkawinan, dan pemaksaan. Pemaksaan itu mulai dari yang subtle, misalnya melabeli orang lain kafir. Sampai ke yang terang-terangan seperti hukum pancung, atau tidak diakui keluarga. Seiring perkembangan jaman,  metode ini perlahan berubah. Orang tidak bisa lagi dihukum karena pindah agama atau tidak percaya. Bahkan label-label seperti kafir atau murtad hanya dijadikan bahan bercandaan. Salah satu faktornya, karena sifat punitifnya sudah hilang di masyarakat heterogen seperti sekarang.

Cara-cara dulu yang efektif dan sekarang sudah tidak relevan, itu adalah tanda bahwa budaya manusia perlahan juga sudah berubah. Pemuka-pemuka agama yang sadar soal shifting ini biasanya memilih 2 alternatif. Alternatif yang pertama, dibuat semakin ketat (konservatif). Atau alternatif kedua, dibuat semakin moderat. Yang semakin ketat biasanya semakin galak. Hal-hal seperti bir, prostitusi, semakin kencang dikecam. Padahal anomali terhadap data atau realita di masyarakat. Misalnya mengenai miras, kenyataannya bahwa kecanduan miras jaman sekarang tidak separah di jaman dahulu. Tapi anehnya justru semakin dikecam. Atau mengenai prostitusi, pacaran jaman sekarang sudah biasa melibatkan seks. Pacaran membuat bisnis prostitusi semakin muram. Anehnya justru semakin dikecam. Bagi saya, kecaman-kecaman seperti itu ibarat cacing yang terbakar menggelepar hebat sebelum mati. Karena eksistensinya semakin tidak relevan, akhirnya semakin galak. Tetap memaksakan diri jadi bagian dari instrumen budaya.

Di sisi lain, yang moderat sadar tidak bisa menggunakan cara-cara lama. Yes, harus beradaptasi. Misalnya jargon “bukan islam marah, tapi islam ramah”. Ada juga yang memberi hadiah mobil untuk yang rajin sholat berjamaah. Atau memberi hadiah umroh untuk pemenang kuis. Tidak bisa menyatroni rumah-rumah memaksa orang sholat atau polisi moral setiap hari jumat. Yang diterapkan di Aceh pun dikritik bahkan oleh kaum muslim sendiri. Mencoba menerapkan undang-undang syariat tentang ibadah, sampai pakaian orang. Lucunya, kasus pelecehan seksual tertinggi justru dipegang Aceh.

Lupakan Aceh, makan rambutannya saja. Sekarang kita tengok dunia perfilman yuk. Perfilman dunia tidak lepas dan tidak sedikit yang menyantap mitologi Yunani. Akankah agama-agama menjadi the next tema mitologi dalam produksinya? Sudah mulai kok. Jangan jauh-jauh ke Hollywood, lihat tuh Bollywood memproduksi film berjudul “PK”. Sudah pada nonton kan? Kaget juga sih film bertema kritik agama seperti itu bisa datang dari India. Bahkan jumlah penontonnya juga banyak. Yang bisa dilakukan kaum agama terutama yang fundies mungkin hanya bisa memaksa penguasa untuk melarang film-film bertema seperti itu. Mencoba menggunakan cara-cara lama yang dulu efektif dilakukan kaum mereka, main paksa dan main larang.  Di negeri ini, tema film masih soal pacaran beda agama saja sudah dianggap terlalu liberal. Haha. Menjaga umat dari noda sepilis (sekuler-plural-liberalis), seperti orang tua yang takut anaknya mati ditabrak mobil. Yes, over protective. Main larang, main paksa. Sekalian saja si “anak” dipasung di rumah. Tidak perlu keluar rumah kalau takut kenapa-kenapa. Dijamin aman.

Ironisnya, berkampanye tentang menjaga kemurnian agama justru menggunakan media sosial seperti  Twitter atau Facebook. Padahalkan keduanya produk liberal. Coba Anda bayangkan kalau sosial media dikelola oleh kaum fundies. Pas jam-jam sholat langsung dikunci. Tidak boleh ada yang posting. Atau ada warning dari Facebook “Abdul, you aren’t allowed to see pictures of half naked women.” Dan si Abdul menggerutu “but i’m 40 years old!” . Terus ada lagi aturan, kalau cewek hendak upload foto/audio/video otomatis error. Ada opsi privacy setting, yang bisa melihat hanya suaminya.

And yu dilarang poke ai, bikaus ai and yu bukan muhrim.

Sekian dan Terima Transferan

Arryandz

Shaming Tradition

Standard

Indonesia merdeka sudah hampir  70 tahun. Tapi masalah korupsi selalu ada di setiap helaan nafas rakyatnya. Whats something wrong? Cekidot curhatan hati saya. Hehe

Ada beberapa tokoh beragama di Indonesia yang saya kagumi seperti Gus dur, Quraish Shihab, Cak Nur, Frans Magnis, dll. Saya kagum karena mereka  sifatnya terbuka sama semua agama. “Birds of same feathers flock together”. Track record mereka pun jelas dan panjang. Mereka belajar agama bukan hanya dari satu sisi aja. Katanya kalau bosnya punya sifat A, anak buahnya juga punya sifat A. Kalo bosnya korupsi, anak buahnya juga ikutan korupsi. Ya kalau pemuka-pemuka agama sifatnya cupet atau dangkal, image tuhan yang mereka berusaha promosikan juga akan terlihat cupet dan dangkal. Agama butuh lebih banyak tokoh  seperti mereka yang punya wawasan luas dan open minded. Kalau tuhan itu bener ada, mungkin sifat tuhan seperti itu juga. Ngeri juga kalau image tuhan itu diperkenalkan lewat pemuka-pemuka agama yang fokusnya cuma masalah pakaian, bahasa, dan atribut sepele lainnya. Apalagi atribut-atribut seperti itu dibungkus menggunakan label aqidah. My way or high way. Either you’re my friend or enemy, mirip George Walker Bush. Gus Dur itu cocoknya jadi presiden Indonesia tahun 2500. Beliau figur yang terlalu maju untuk sebuah bangsa yang masih orok.

Balik ke masalah korupsi, jadi bagaimana untuk mengatur dan melarang orang untuk tidak korupsi? Apa karena faktor agamanya? Lucunya malah justru orang beragama yang terjerat kasus korupsi, sampai menteri agama ikutan kena. Hehehe. Padahalkan udah ada negara. Kesepakatan masyarakat untuk membuat aturan dan memilih penguasa. Relasinya menjadi horisontal bukan lagi vertikal. Apalagi vertikal yang diada-adakan. Pakai ancaman semu ini dan itu supaya orang taat. Akhirnya vertikal sama horisontal ini jadi tumpang tindih. Lihatlah pejabat yang disumpah pakai agama sebelum mulai menjabat. Tapi kan ada KPK juga, sumpah jabatan akhirnya cuma bersifat seremonial. Mungkin dari dulu vertikal itu memang sebatas seremonial. Sumpah alias amanah (dari tuhan) yang dulu mungkin efektif untuk menakut-nakuti orang akhirnya menjadi tumpul. Pejabat lebih takut memakai baju tahanan kpk.

Agama mengajarkan untuk memelihara rasa malu, ini mungkin alasan kenapa pejabat takut pakai baju tahanan KPK karena gagal memelihara malu. Konsep malu itu sebenarnya ada di banyak budaya. Shaming tradition namanya. Bagi saya ini seperti pisau bermata dua. Karena “malu”, lahir pemikiran “apa kata orang nanti?”. Dan itu juga timbul ketika ada persaingan kelas/ekonomi di dalam grup-grup masyarakat. Orang JUGA jadi malu ketika rumahnya biasa aja. Ketika anak-anaknya tidak bisa (sekolah) ke luar negeri. “Papah, kok dia sekolah ke luar negeri saya nggak?”

Masalah malu kalau nanti ketahuan korupsi itu bagi koruptor lebih kecil mudharatnya daripada malu tidak bisa membanggakan keluarga secara ekonomi. Makanya, bisa dimengerti kalau ada usaha berjemaah untuk memperlemah KPK seperti saat ini. Karena shaming tradition yang melahirkan budaya korupsi sudah berurat akar. Jadi geli kalau ada orang teriak anti korupsi di sosmed. Kayak saya gak tau aja siapa orang tua  dan kenapa dia bisa sekolah ke luar negeri.

Kebanyakan pejabat tidak suka yang namanya “orang bersih”. Mereka anggap korupsi ini lebih ke sifat alami manusia. Iya, saya paham. Jadi gak selamanya tradisi itu baik. Korupsi berjamaah itu tradisi. Karena menguntungkan banyak orang dan di lihat tidak ada yang dirugikan. Karena uang pajak itu kasarnya uang “rampasan”. Ketika pajak di kumpulkan, di situ udah tidak jelas lagi ini duit punya siapa karena udah campur. Beda ketika ada rumah dirampok. Kepemilikannya masih jelas, RASA tidak rela dirampoknya beda sama waktu uang pajak dikorupsi.

Maka dari itu perlu ada paradigma baru untuk memutus tradisi korupsi. Perlu ada pendidikan khusus di institusi-institusi negara kenapa korupsi merugikan. Paradigma baru itu juga termasuk pemahaman antara bedanya kerajaan dan bangsa yang modern/civilized society. Di kerajaan, raja berkuasa karena dia yang paling kuat. Dia bebas menentukan berapa pajak yang di bayar rakyatnya. Terserah dia uangnya mau di apakan. Sementara di paradigma kebangsaan, rakyatlah yang berdaulat. Penguasa bukan lagi figur tetapi sudah merupakan institusi. Paradigma sederhana sebenarnya. Tapi sering dilupakan orang. Toh paradigma ini sebenarnya masih dibilang baru. Masih ada efek gagap 50 tahun terakhir ini. Poin awalnya dari kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia dan afrika tahun 40-50. Ketika ada konferensi Asia Afrika, pemimpin-pemimpin baru lebih parno soal campur tangan asing daripada ketakutan akan sulitnya mengatur bangsa yang baru. Perubahan paradigma dari kerajaan ke kebangsaan itu tidak gampang. Bahkan presiden-presiden di negara baru ini mengira diri mereka itu seperti raja. Tak heran kalau ada istilah seperti “presiden seumur hidup”. Untuk seorang Sukarno pun, tidak mudah menerima perubahan paradigma tersebut.

Jadi kalo ada pejabat yang tertangkap korupsi, sebelum teriak-teriak mengutuk orang tersebut, coba tempatkan diri anda di posisi dia. Punya jabatan, kekuasaan, ada celah besar  untuk mendapatkan uang lebih. Apa anda akan korupsi, atau menolak korupsi? Wajar kalau anda bilang akan korupsi. Itu memang tendensi alamiahnya. Bahkan salut kalau anda jujur bilang anda akan korupsi. Makanya disini perlu ada pengaturan. Dibuat sistem baru yang meminimalkan orang untuk bertindaka korupsi. Dibuat juga semacam kursus dan training tentang korupsi.

Kadang saya ingin tiba-tiba ada kejadian luar biasa yang terjadi di Indonesia yang pada akhirnya membuat Indonesia 0% KKN. Tapi dulu kan sudah ada tritura tahun 1966. Ada reformasi 1998. Lebih buruk dari keledai, kita jatuh di lubang yang sama dua kali. Mensejahterakan PNS dengan gaji tinggi juga tidak akan efektif jika dibenturkan dengan keinginan tak terbatas manusia. Memutus tradisi itu butuh 2-3 generasi. Itu bukan skeptis, realitanya memang seperti itu. Kalau berbicara cara apa saja yang dilakukan negara dengan indeks korupsinya rendah. Menurut saya ini klise. Mendirikan institusi-institusi seperti KPK, tranparansi, eksternal audit, membayar uang tilang langsung ke bank, dll.

Sebenarnya indonesia sudah pada treknya kok kalau soal formal legalnya anti korupsi. Hanya saja orang pada kaget aja karen gak nyangka banyak koruptor. Ibarat disinarin lampu ke tempat gelap, terus banyak kecoa keluar. Orang-orang kesel kenapa banyak kecoa. Padahal sebelum disinarin lampu, kecoanya juga udah banyak dari dulu. Cuma orang merasa nyaman sepanjang gak tau di situ banyak kecoak. Tapi saya gak begitu tertarik soal cara-cara formal legal. Bukan bidang saya. Saya lebih tertarik soal stigma yang ada di masyarakat. Stigma orang diacungin jempol dan dipuji “kamu hebat!” kalau bisa sekolah di luar, kalau punya rumah/mobil. Ini salah satu faktor orang korupsi. Mirip seperti memberi likes di Facebook. Pernah perhatikan gak kalau ada orang memasang foto selfie-nya terus dapet like banyak, dia akan lakukan hal itu lagi? Sudah perilaku manusia untuk mengulang pola yang sama jika mendapat pujian. Pujian tersebut menjadi stimuli/reward. Berlaku juga ke anak-anak bahkan hewan. Jadi, kalau ada temen kamu pegawai negeri posting foto rumah atau mobilnya yang baru, atau check in di hotel bintang 5 Eropa, ya jangan dikasih like. Itu hanya contoh kecil. Sepele memang. Tapi stigma seperti ini harus dikikis. Dan tidak segampang seperti cara-cara formal legal dalam menangani korupsi. Latih diri kita sendiri untuk process-oriented, bukan result-oriented. Berilah pujian ke orang yang bekerja keras, walaupun akhirnya dia gagal. Semoga menular ke orang lain, buatlah itu menjadi stigma baru. Saya jengah meliat orang kasih lihat hasil (mobil, rumah) terus dipuji padahal hasil korupsi. Orang mengambil jalan pintas. ‘Nyogok’ biar bisa masuk kerja. Supaya dapat proyek. Dia meliat orang-orang lain sekelilingnya cuma peduli hasil, bukan proses. Jadi inget pas jaman SD, cari nilai, bukan belajar tapi nyontek. Pernah jadi kecoa sejak dari kecil.

Saya punya teman yang bapaknya korupsi, dia bangga banget tiap dibeliin mobil baru. Tapi ya itulah, dia cuma puncak gunung esnya aja. Baru yang kelihatan. Dia bilang dia bersyukur karena bapaknya udah pensiun kalau gak pasti udah keciduk KPK hahaha. Dapet gelar S2 dari luar tapi mindsetnya masih lugu. Serba serbi koruptor dan anak-anaknya. Bukan hanya ada di layar tv pake jaket tahanan. Tapi juga ada di sekeliling kita tanpa kita mungkin sadar.

Mungkin gak kecoa berubah menjadi kupu-kupu? Mungkin saja selama di kelilingi banyak kupu-kupu. Walaupun kita katanya mahluk berpikir, kita juga pack animal. Kita mimikri, melihat sekeliling kita. Korupsi berjemaah kan begitu juga. Kalau tidak ada yang korupsi apa iya kamu akan gampang untuk korupsi? Realitanya, banyak stigma di masyarakat kita yang mendorong kita untuk korupsi.

Selamatkan diri, keluarga, teman, dari korupsi. Mulai dari hal terkecil.

Thanks

Salam Revolusi

Arryandz

Kecap nomor satu is fail

Standard

Berhubung agama adalah background saya dari semenjak kecil terus kuliah ngambil jurusan perbankan, rasanya gatal kalo gak ngomongin agama sama ekonomi. Hehe. Tulisan ini sedikit mengulas tentang relevansi teknik marketing yang digunakan agama terhadap manusia yang pola pikirnya semakin maju.

Marketing itu pada dasarnya adalah ilmu memanipulasi manusia. Mulai dari rasa lapar sampe rasa takut. Istilahnya Fear mongering (kampanye menjual ketakutan). Makanya pernah saya bilang kalo gak pengen boros belanja di mall, sebelum pergi harus mandi dulu, pake baju bagus, sama makan yang kenyang di rumah. Karena di mall semua mencoba memanipulasi apa yang kamu rasakan waktu kamu ada di sana. Mulai dari rasa gak pede kamu sampe rasa lapar. Termasuk juga kalo abis berantem sama pasangan. J Pergi ke mall itu solusi buruk. Karena di situ impulse buying kamu lagi tinggi-tingginya. Akhirnya banyak orang kaget kenapa mereka beli barang yang mereka gak butuh. Segala snacks sampe baju dibeli. Padahal di rumah udah punya banyak. Karena kamu belum makan, atau lagi gak pede, atau lagi marah sama pasangan. Semuanya itu memicu impulse buying. Termasuk juga kata-kata terkenal “atheist until airplane starts falling.. ” dalam menjual agama, menawarkan agama sebagai placebo untuk rasa takut. Sebenarnya rasa takut itu sendiri bersifat alamiah. Termasuk rasa lapar, marah, atau gak pede. Gak ada yang salah di situ. Tapi jadi abu-abu bahkan hitam ketika perasaan-perasaan tersebut dimanipulasi. Garis etikanya kadang blur dalam menentukan benar salahnya manipulasi-manipulasi tersebut. Apa bedanya antara kamu ditodong pistol terus dipaksa pindah agama, sama kamu dari kecil disuruh orang tua ke sekolah minggu atau belajar ngaji? Umumnya orang akan bilang “ya beda dong”. Yang pertama itu kan dipaksa. Yang terakhir itu gak ada paksaan. Betul. Caranya beda. Sama kayak air yang netesin batu bertahun-tahun jadi bolong atau pake paku dan martil bolongnya cepet. Tapi hasil akhirnya sama. Apa bedanya bikin mabok cewek terus ngeseks sama dia 3 jam setelahnya , sama kamu beliin bunga, antar jemput dia, 3 bulan kemudian ngeseks juga.

Umumnya orang mempunyai persepsi bahwa selama dia yang memegang kendali, selama itu juga bahwa hal tersebut bukan manipulasi atau eksploitasi. Tapi pertanyaan sesungguhnya, apa benar seseorang pegang kendali? Bagaimana sebuah batu bisa tahan gak bolong ditetesin air terus? Gimana seseorang gak cinta sama agama dan allah kalo tiap hari denger kotbah-khotbah agama? Gimana seseorang bisa gak perlahan sayang sama seseorang kalo tiap hari dipeduliin, dibeliin coklat, diantar jemput? Gimana seseorang bisa tahan gak makan di mall setelah dia cium bau masakan dari resto di dalam mall dan dia belum makan seharian?

Jadi, quote “an atheist until his plane starts falling”, itu sama sekali gak bisa menakut-nakutin orang yang gak beragama. Apa pernah kamu ke mall terus udah tau resto mana yang kamu bakal samperin walaupun kamu gak ada planning buat makan di sana? Biasanya nggak. Semuanya tergantung proximity. Bau masakan mana yang nyampe duluan ke hidung kamu, biasanya itu yang kamu samperin saking lapernya. Soal pacaran juga gitu. Liat pacar ekamu, apa memenuhi kriteria-kriteria kamu soal pacar sebelum kamu ketemu dia? Biasanya nggak. Karena soal proximity. Agama juga begitu. Umumnya kamu beragama sama kayak agama orang yang ada di  lingkungan kamu, di keluarga kamu. Tergantung proximity. Jadi jangan bilang cowok jahat karena bikin ini itu, bilang sayang, padahal pengen ngeseks. Sementara agama kamu melakukan hal yang mirip. MANIPULASI.

Jadi jangan bilang kapitalisme itu bejat, mempengaruhi orang jadi konsumen, melanggar akidah, dll. Padahal agama melakukan hal yang sama. Kasih ateis agama yang gak memanipulasi rasa takut, mungkin mereka akan mempertimbangkan untuk gak jadi ateis lagi. Ada? : )

“Manipulation is how people get power, and fear always one of it”

Lucunya, saat ini masih banyak orang jualan produk practical sehari-sehari (makanan, kosmetik) aja masih appeal ke sana. Apalagi iman yang abstrak dan bombastis. Konsep jualan kecap begitu kan udah dari jaman nabi-nabi. Justru, sekarang udah era anti marketing. Marketingnya versi 2.0. Dulu jualannya “kecap gue paling bagus. Kecap sebelah palsu!”. Lihatlah agama-agama, maenannya kan di seputar itu. Sekarang justru anti marketing “bodo amat elo mau beli kecap gue. Kecap gue bukan paling bagus kok.” Ateisme udah masuk di sini. Yang kamu jual bukan lagi kehebatan, tapi justru kelemahan. Paradox? Yes. But it works. Kampanye presiden-presiden kan udah mulai masuk ke tahap itu. “Wong saya emang gak jago orasi kok dipaksa orasi.” Ini lagi jualan. Dengan kamu jualan kelemahan, orang bisa relate sama kamu. Kalo mereka juga gak sempurna. Karena mereka mencoba jujur ke diri sendiri. Sebaliknya dibanding jaman dulu, orang sekarang lebih skeptis. Begitu kamu jualan kehebatan dan kesempurnaan, orang akan kasih tanda tanya. Karena “if it sounds too good to be true, It’s usually too good to be true.”  Baik itu jualan kecap, calon pacar, capres, bahkan agama.

Seandainya agama-agama mau humble untuk bilang “agama saya emang gak sempurna, banyak kekurangan. Tapi saya dapat banyak manfaat di situ.” Mungkin akan lebih banyak orang, bahkan yang skeptis, untuk tertarik pengen tau soal agamamu. Sayangnya nggak. Bahkan ada agama yang eksplisit tertulis bilang agama tersebut lah yang udah disempurnakan. Sounds too good to be true. Apa masih laku agama dijual dengan cara jualan “kecap no. 1”, sementara dunia justru udah masuk ke era anti marketing? Ya mungkin. Tapi jangan heran kalo konsumen loyalnya punya karakter yang mirip. Yang selalu menepuk-nepuk dada kalo cuma (agama) dia yang paling bagus. Akhirnya yang lain dirusuhin. Syiah dirusuhin. Yahudi. Ahmadiyah. Kristen. Budha. Hindu. Gay. Ateis. Akibat “Kecap Nomor 1”.

Habis Boyong Terbitlah Bayang

Standard

All about INSAN BPC D.I Yogyakarta..

Hae Insaners.. Aku mau keluarin unek-unek nih tentang kalian. Jangan sakit hati ya. 🙂

Oke. Tiga..dua..satu..mulaik!

Dari Alan, aku belajar banyak cewek yang bisa dibeli pake duit

Dari Hakam, aku belajar buanglah kegugupan saat menyentuh Mac

Dari Rouf, aku belajar kemampuan kamuflase dalam lingkungan

Dari Nisa, aku belajar tata kelola gono-gini

Dari Indana, aku belajar harus tampil beda sekalipun kakakmu Jibril

Dari Iffah, aku belajar mau tak mau harus minum jamu meskipun pahit rasanya

Dari Amik, aku belajar tombol kehidupan ada pada dirimu sendiri

Dari Amin, aku belajar tak perlu di amini, kebaikan akan terus ber-reinkarnasi

Dari Bagir, aku belajar lemak jenuh dan tak jenuh

Dari Kholis, aku belajar srental srentil

Dari Lasoh, aku belajar lakukan ketelitian dalam setiap titian

Dari Duloh, aku belajar tutuplah pemandangan yang kau sendiri tidak ingin lihat meski dengan rambutmu

Dari Desi, aku belajar jangan terlalu fokus sama masa lalu

Dari Agus, aku belajar pentingnya sesekali melihat kaca spion

Dari Hapleuk, aku belajar ngeprint jangan takut kotor sama tintanya

Dari Ibnu, aku belajar sedikit teologi Islam masa demi masa

Dari Nunu, aku belajar ngos-ngosan demi kebenaran

Dari Badru, aku belajar nyunda everywhere

Dari Badrun, aku belajar ada jurang pemisah antara bodoh dengan lugu

Dari Tanti, aku belajar gimana jadi wonder woman tanpa melupakan tanah kelahiran

Dari Nasiha, aku belajar ada pelangi ba’da hujan

Dari Hilmi, aku belajar ada mutiara dalam kerasnya kulit kerang

Dari Erul, aku belajar cara memanfaatkan peluang

Dari Ayu, aku belajar bahasa jawa kalau ayu artinya cantik

Dari Ohim, aku belajar jangan terperdaya pada paras

Dari Oman, aku belajar tegar dalam kesederhanaan

Dari Erfan, aku belajar santai kayak di pantai

Dari Wulan, aku belajar gimana ngakalin gentingnya sikon

Dari Ilman, aku belajar jangan terlalu mengumbar kemewahanmu depan orang lain

Dari Ayat, aku belajar cara menysukuri kemewahan

Dari Ay ta, aku belajar jadilah emas dalam kubangan lumpur

Dari Fadil, aku belajar cara menyetir yang baik terlihat dari penumpang yang bisa tidur

Dari Kiki, aku belajar ramah-tamah ke semua orang

Dari Fajar, aku belajar sebaik-baiknya qiro adalah yang di amalkan dan di keluarkan dari pita suara sendiri

Dari Indah, aku belajar tetap kreatif meski dalam tempurung

Dari Fatih, aku belajar tetap tersenyum meski di tengah rel kereta sekalipun

Dari Burhan, aku belajar cara menikmati terik matahari

Dari Zeck, aku belajar cuek bebek sebodo amat

Dari Marfu’ah, aku belajar cara diam dalam waktu yang tepat

Dari Anam, aku belajar kesaktian tulisan terus mengalir manfaatnya jika sudah terupload ke internet

Dari Iip, aku belajar materi tidak di bawa mati

Dari Boris, aku belajar kopdar adalah jalan menuju syurga

Dari Mila, aku belajar teruslah berjalan dalam kebenaran meski kuping sedang kepanasan

Dari Ni’mah, aku belajar coba aja dulu sampai menemukan maaf anda belum beruntung

Dari Edi, aku belajar sesekali hijrah-lah dari zona nyaman

Dari Budi, aku belajar kutu buku saja tidak cukup, naik pangkatlah berternak kutu

Dari Alimin, aku belajar banyak jalan menuju Indramayu

Dari Sincan, aku belajar kimochi-oh shit-oh yes-oh no-

Dari Anwar, aku belajar rela teriak di lorong gelap demi pementasan hidup yang maksimal

Dari Bojes, aku belajar gimana cara mencintai keluarga

Dari Sadut, aku belajar gimana cara menyerang

Dari Nung, aku belajar gimana cara bertahan

Dari Boled, aku belajar menjadi wasit pertandingan

Dari Ganyong, aku belajar gimana teknik nelanjangin baju Bunda Maria

Dari Fais, aku belajar berpedofil ria

Dari Ajis, aku tidak belajar apa-apa

Dari Ajis, eh bentar..ini siapa? Dih gak kenal

Dari Ajis, ya tuhan kok dia lagi

Yaudah deh..terpaksa..

Dari Ajis, aku belajar mugoladoh-mutawasitoh-mukhofafah

Gegara ngomongin (n)ajis, kayaknya saya harus wudhu.
Segitu dulu, maaf gak bisa nyebutin semua, wong satu aja sudah sukses bikin aku lope-lope you.
Sampai ketemu…

Thanks Insaners!

Regards
Arryandz

Selamat Jalan Sahabat

Standard

Dear Waridi,

Selamat Jalan Ke Dimensi Tiga

Sahabat…

Sejujurnya, sebelum saya meletakkan tangan di atas keyboard untuk menulis ini, jemari saya gemetar tiada henti. Degup jantung kencang membuat hela nafas tak terkendali. Saya akui saya tidak cukup kuat menenangkan diri sendiri. Namun, bila kami yang kau tinggalkan tidak mampu menenangkan diri, kami takut engkau di sana pun tidak tenang sobat. O.., o.., oke, sekarang saya mulai agak tenang.

Ada ahli bahasa yang mengkiaskan hidup itu berputar seperti bola. Kadang di atas kadang di bawah. Bola memberi kita banyak pelajaran karena memiliki komposisi seperti menyusun strategi, mengambil keputusan, cara bertahan, kapan saatnya harus fight dan bagaimana menyeimbangkan permainan. Bola juga merupakan olahraga pemersatu bangsa. Dari sini pula awal, tengah dan akhir hubungan kita dapat terjalin akrab. Banyak moment yang telah kita lewati bersama tercipta dari aroma bola. Keseruan kita bermain sepak bola, nonton bareng klub kesayangan bertanding, futsal, sampai nge-game PES mampu menguatkan temali silaturrahim.

Setiap hari kita saling berbagi informasi mengenai bola. Bahkan, kalau ada update-an PES aku tak sempat mengabarimu, kamu marah. Rupanya sedetik pun kamu tak mau ketinggalan yah. Kalau ada gosip update PES kamu spontan langsung kontak saya untuk mencari tahu kebenaran infonya. Setelah diklarifikasi berita itu benar, kamu minta saya segera mendownload dan menginstalnya di laptopmu. Ketidaksabaran itu terlihat sekali ketika suatu hari kamu terbaring di rumah sehat, kamu sempat-sempatnya sms saya: “Ntar kalau abang mau nengok tolong bawain update-an PES ya.” WTF…?!!

Saya iya-in aja deh. Karena saya pikir, kesembuhan seseorang bukan hanya dari jarum suntik dan obat-obatan yang diberikan orang berjubah putih saja. Ada faktor pendukung lain seperti spirit kehangatan orang-orang terdekat, seni menghibur pasien, dll. Dengan tangan kanan membawa sekotak gadget berisi update-an dan tangan kiri menjinjing sekantong buah-buahan, berangkatlah saya ke rumah sehat. Setibanya di sana, dari samping ranjang pesakitan, saya lihat kamu tersenyum sambil mengkedipkan mata setelah sorot matamu mengarah ke tangan kanan saya. Hmm… baiklah, saya mengerti. Aksi penginstalan pun dimulai. Esoknya kesehatanmu berangsur membaik.

Bulan berganti bulan, tersiar kabar ada info PES versi terbaru sudah dirilis. Sengaja, saya tak mengabarimu sob, karena saya tahu kamu lagi banyak tugas menumpuk bak cucian emak-emak komplek. Tak disangka, beberapa minggu kemudian, pagi itu, saya sedang lelap tidur. Tiba-tiba dari balik pintu kandang digital saya ada teriakkan: “Bang Arief…Bang Arief…” Saya dengar sih, suaranya juga tak asing lagi. Tapi masa bodo, tidur baru start karena habis begadang semalaman. Saya telah berjanji tidur ganteng saya harus sukses finish pas beduk dzuhur. Eh, dengan pintarnya kamu mencomblangi gorengan hangat dengan lubang hidung seksi saya. Gorengan…bray! Campur butiran misil cabai rawit pula. Nikmat tuhan mana yang kau dustakan?! Iya deh, saya angkat tangan. Menyerah! Bukannya kesuksesan proses tidur saya, malah kamu yang sukses bangunin saya.

Dengan kondisi kesadaran tubuh yang belum jejeg, terpaksa saya mengeksekusi kehendakmu. Apalagi kalau bukan nginstal game. Semoga suatu saat KPK bisa memasukkan tipe kasus penyogokkan ini ke dalam draft pasal pidana. Tapi yaudah lah, untung gorengannya maknyus. Proses penginstalan di luar perkiraan, karena kondisi laptopmu stadium 4. Terpaksa harus mengobatinya dulu. Sambil menunggu, kita mengobrol bahas makna hidup. Wuih. Inti obrolan kita tak jauh dari hobi: “Life is  a game”. Diskusi kita malah menjurus nakal becandain tuhan. Andai tuhan itu developer, agama itu game, file update-an itu kitab suci, yang nyebarin file update-an adalah nabi. Jadi saya nabi dan kamu itu umat alias pengikut? Kenapa agama tuhan perlu di update melalui kitab sucinya? Untuk menyesuaikan perkembangan zaman? Katanya tuhan maha mengetahui. Masa tuhan gak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Bla..bla..bla..ngelantur. Sampai malah kamu yang tertidur.

Tak terasa, pengobatan laptop selesai. Tinggal instal game-nya tapi hari sudah mau maghrib. Karena perut belum diisi, kita makan dulu di RM Padang. Sambil makan, kita lanjutkan penginstalan game. Akhirnya game-nya sudah bisa dimainkan setelah butir nasi terakhir masuk ke dalam mulut. Kita main PES bareng untuk pengetesan. Kita cuek bebek sama yang punya rumah makan dan orang di meja sebelah. Oiya, tiap pemain Arsenal hendak menyerang, saya selalu teriak “WAR..WAR..WAR..!” Eh, kamu malah menyahut “Apa..apa..apa?” Maksud saya WAR itu perang, bukan WARIDI. Kamu lucu sekali war!

Langit mulai gelap, awan mendung, nampaknya hujan sudah tak sabar turun. Kamu menjulurkan tangan meminta segera pamit, saya juga buru-buru sih mau ke luar kota. “Makasih semuanya bang..saya pulang dulu”, ucapmu. (Saya tak sadar ternyata ucapanmu itu adalah kalimat terakhir yang aku dengar dari pita suara kamu. Hari itu juga hari terakhir kita bertemu)

Sudah berhari-hari kita tak berjumpa, kita berbeda kota. Malam minggu pun tiba. Waktunya saya ngedota (main game DOTA 2). Saat asyiknya saya ngedota, tepat pukul 00.18 WIB 18 januari, tiba-tiba handphone jadul Nok Iyah saya berdering. Saya senang sekali karena di layar telepon itu nama kamu. Asal kamu tahu, sebosen-bosennya saya sama kamu yang minta update-in PES, saya tetep merasa kangen.

Kesenangan saya mendadak terhenti setelah suara itu bukan suara kamu. Suara itu mengaku suara Adi Surya, seorang polisi DIY mengabarkan kamu kecelakaan di Jembatan terban, dan katanya kamu langsung di larikan ke RS Sardjito UGM. Dia meminta saya segera ke RS. Saya terdiam, tidak percaya. Saya kira ini bohongan alias becandaan. Lagipula suara tuh orang tak begitu jelas karena ada gemerisik seperti rintik hujan. Saya minta tolong kencangkan suaranya pak! Sengaja saya bentak begitu supaya saya bisa dengan jelas mendengar siapa si penelepon, barangkali itu teman lagi ngerjain. Dengan memasang ketajaman gendang telinga saya ke tingkat amplitudo yang paling maksimal, tetap saja saya benar-benar tak bisa mengenali suaranya. Terpaksa saya harus percaya dengan kabar itu. Berhubung saya lagi di luar Jogja, saya langsung telponin semua teman yang sedang ada di Jogja. Faiz, Burhan, Zack, Wulan, dll. Tak ada yang aktif, ada yang aktif tapi tak di angkat. Di sms tapi pending. Ini aneh sekali. F*ck! Entahlah. Pas saya coba telpon nomor Fatih, nomornya aktif dan diangkat. Ini harapan saya satu-satunya supaya dia bisa nemenin kamu.

Perasaan cemas menghantui, takut terjadi apa yang tidak kita inginkan. Saya sms lagi ke fatih gimana kabar kamu. Dia jawab kamu lagi di kejut jantung. Arggghhhh! Saya berharap kamu bisa segera sadar.

Pukul 01:55:15, ada sms masuk lagi dari Fatih:

“INNALILLAHIWAINNAILAIHIROOJI’UN RIP 😦 ”.

Saya tak percaya karena ucapan Innalillahi bukan hanya berita ada orang yang meninggal. Tapi, tambahan kata RIP di belakangnya bikin saya tidak tenang. Kata itu biasa digunakkan untuk orang yang meninggal. RIP (Rest In Peace). Apalagi di belakangnya ada emoticon jahanam. Saya sms lagi, “Kenapa Tih?” dia jawab “Ninggal rip 😦 pendarahan hebat”.

Sulit sekali mengikhlaskan kamu, War. Sulit sekali menemukan sahabat seperti kamu. Kalau kamu mau saya ikhlas, baiklah saya coba berusaha.

Satu kata yang terlintas di pikiranku saat ingat kamu: LUGU.

Selamat jalan ke dimensi lain kawan…

Segaban kebaikanmu semoga di terima Sang Developer.

Sahabatmu

Arryandz

Ekspresikan pujianmu!

Standard

Sebelum jauh membahas pentingnya memberikan pujian terhadap orang lain, kita bahas dulu tentang teori Erikson. Teori Erikson adalah teori yang membahas tentang perkembangan manusia. Teori ini dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Erikson percaya kalau kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut dia, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.

Image

Di era modern ini, orang Indonesia masih sedikit yang menyadari pentingnya memberi pujian kepada orang lain. Fenomena ini saya sebut sebagai krisis pujian. Entah di dunia nyata ataupun di dunia maya. Misalnya ada orang yang memberi tahu temannya lewat face to face atau bahkan di sosial media, ketika dia bicara atau posting tulisan baru, posting foto travelingnya, posting saat makan, punya kendaraan baru, gadget baru, atau pacar baru, masyarakat kita agak pelit untuk memberikan pujian. Gak susah kan untuk bilang “keren!”, “OK banget!”, “mantap!”, “cool!”, “cakep yah!”, “tulisan ganteng!”, dll. Kadang orang butuh mendengar itu. Selanjutnya yah kalo bisa diperhatikan behavior yang dipuji itu bagaimana. Pujian tersebut menjadikan dia confident atau malah sakaw pujian.

Memang agak berlawanan dengan kultur kita, di mana pamer itu harus selalu dilarang. Tidak menyadari tiap orang punya kebutuhan psikologis. Kamu melihat teman atau saudara kamu pamer, tidak ada salahnya dipuji. Mungkin di situ ada yang dia butuhkan yang orang lain bisa kasih. Pamer kadang positif kok. Jadi begitu tumbuh remaja/dewasa, si anak mengerti kalau dia tidak harus mencari pengakuan/validasi, karena selama ini dia sudah mendapatkannya berlimpah. Dukung anak untuk melakukan dan mengeksplore hal-hal lain. Dukung si anak untuk membangun dia agar mempunyai self-esteem dan confidence. Ini tugas orang tua dan pendidik di sekolah, untuk mengajarkan anak kalau dia tidak harus melakukan hal yang sama hanya karena orang menyukai hal tsb. Cuma ya itu tadi. Ada yang begitu dikasih like, besoknya rajin posting yang sama. Validation-seeking. Bukan lagi fulfilling needs. Makanya saya kalau di facebook, misalnya, ya gak pelit-pelit kasih like. Kalau dengan itu kebutuhan psikologis seseorang terpenuhi, kenapa gak?

Akhirnya kita banyak menjumpai orang posting gambar makanan setiap hari, posting selfie setiap hari. Dari soal behavior pattern, it’s expected. Dan orang dewasa sebenarnya tidak beda jauh dengan anak-anak. Karena tahu dia mendapat banyak like/RT, itu terus yang dia posting. But how much is too much? Ada anak-anak yang karena tahu dia melakukan X lalu dipuji ortu/guru, lalu dia melakukan X terus. Itu hasil learning process dia. Fitur RT, like, fav, di sosmed itu sebenarnya membantu orang untuk fulfill kebutuhan psikologis dia. Merasa diterima, diakui, dipuji. Orang menampilkan foto makanan yang dia mau makan, atau foto piala-piala dia, atau foto hasil jalan-jalan dia, atau dia beribadah di mana, itu kenapa?

Hal semacam ini ada hubungannya dengan love/belonging dan validation seeking, relasinya dengan sosmed. Hal semacam ini juga erat kaitannya dengan bullying, peer-pressure, validation seeking, dll. Jadi, tidak salah juga sih kalau ada istilah “masa kecil kurang bahagia.” Karena memang ada stages atau tahapan-tahapannya. Kata-kata yang simpel tapi bermakna sekali untuk manusia, terutama anak-anak. Kebutuhan psikologi kita untuk diakui, diterima, dipercaya, menjadi terpenuhi. Di luar negeri, orang terbiasa mengucapkan kata-kata “good for you”, “thank you”, “I love you”. Ekspresif tapi fulfilling, apalagi buat anak-anak. Makanya agak canggung buat saya ketika dibandingkan dengan lingkungan di indonesia. Entah itu bicara soal hirarki Maslow atau Erikson, kebutuhan untuk diakui, diterima, atau dipuji itu memang nyata.

Rindu Siti Jenar

Standard

Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, yaitu ilmu yang mendalami ketakwaan kepada Allah swt. Yang sebagaimana seperti berdzikir. Istilah sufi (orang suci) akhirnya dipakai oleh dunia secara luas, bukan saja untuk tokoh agama dari agama tertentu, tetapi bagi seseorang yang secara spiritual dan rohaniah telah matang dan yang kehidupannya tidak lagi membutuhkan dan melekat kepada dunia dan segala isinya, kecuali untuk kebutuhan dasarnya saja. Sufi dalam konteks ini diamalkan sebagai cara sejati untuk memurnikan jiwa dan hati, mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada SorgaNya [menjauhi dunia].

Di agama Budha, dikenal sebagai tahap arupadatu (berbeda dengan kamadatu/kamasutra), di agama Nasrani dikenal sebagai biarawan/ biarawati sebagai cara menjalani kehendak Tuhan secara full/penuh dan memerdekakan diri dari budak kesenangan dunia dst. ilmu yang dipelajari namanya tasawuf, orang yang mengamalkannya namanya salik, perjalanannya namanya suluk, jalan yang dilaluinya namanya thoriqoh (di indonesia dikenal tarekat, dijawa dikenal tirakat) memiliki akar tujuan yang sama, tetapi dalam perjalanannya ketiga kata ini diartikan berbeda.

Ide mentok spiritualisme adalah predeterminasi. Apapun yang kamu lakukan, kemana pun kamu pergi, tuhan tahu dan berkuasa atas itu. Tapi ide tersebut susah ditangkap oleh mayoritas teis. Makanya orang-orang seperti Rumi, Siti Jenar, Aynthony de mello dianggap sesat oleh agama mereka. Predeterminasi membuat kaum spiritual dan sufi percaya saking berkuasanya, tuhan itu ada di mana-mana, termasuk di dalam diri mereka. Begitu ada yang bilang “aku adalah tuhan”, mulai dari jaman Yesus sampai jaman Siti Jenar banyak umat pilihan dan kaum mukmin yang mengamuk. Aneh. Aneh karena bukankah Alquran dan Alkitab bilang tuhan meniupkan ruhnya ke dalam manusia? Lalu kenapa menyangkal hal tersebut? Bahaya kalau begitu, kata mayoritas. Nanti orang-orang sesat tersebut akan bebas melakukan apa saja karena percaya predeterminasi dan percaya mereka = tuhan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Yang banyak berdosa bukan kaum sufi/spiritualis. Sejarah memperlihatkan kaum mana yang lalim dan jahat.

Ketika para sufi dan spiritual percaya kemahakuasaan tuhan sebegitu hebatnya, mereka malah menyerah. Menyerah dalam arti tawakal. Berserah diri penuh. Menyadari bahwa pahala, doa dan sembah tidak akan mengubah rancangan si maha berdaulat. Jadi apakah harus berdosa terus karena tau takdir sudah dibuat sebelum mereka lahir? Sebaliknya. Mereka jarang berdosa karena sudah menyerah. Mereka seperti nabi Ayub yang sedang menderita, seolah berkata lirih “terserah aku mau kamu apakan, tuhan. Tidak ada yang bisa mempengaruhimu.”

Saya rindu berjumpa lagi dengan orang-orang yang manunggaling kawula gusti. Mereka para musafir yang memberi air ketika saya haus, memberikan pondok ketika saya lelah, menyuapi madu ketika lidah saya pahit. Orang-orang seperti ini yang saya percaya kalau diberi tiket ke surga, akan memberikan tiketnya ke orang lain yang mereka lihat lebih menderita daripada mereka. Sebaliknya, sudah terlampau banyak saya ketemu kaum beragama yang jika pintu surga dibuka, rela injak kepala orang lain demi masuk ke sana.

Era Keemasan Islam

Standard

Sejarah mencatat, era keemasan (Golden Era) Islam yaitu sekitar tahun 800 M hingga 1100 M. Periodisasi sejarah ini tidaklah sepenuhnya benar. Tidak ada seorang sejarawan pun yang berhak “menilai” periode yang satu lebih baik dari periode yang lain, mengingat kedua periode sejarah tersebut memiliki tantangannya yang berbeda-beda. Sebab, bukankah dengan mengatakan masa keemasan Islam terjadi pada abad itu, secara tidak langsung kita juga mengatakan masa modern yang dikuasai oleh berbagai penemuan saintifik dan kebebasan berpikir (dengan melupakan berbagai permasalahannya, seperti krisis lingkungan dan moralitas) sebagai masa yang terbaik dan utama dibanding masa-masa sebelumnya.

Di masa 800 hingga 1100 M, Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) maupun filsafat yang berpusat di Baghdad. Deretan penemuan seperti angka Arab, Aljabar, dan Algoritma tercipta di jaman itu. Kurang lebih sebanyak 2/3 dari total bintang yang diketahui diberi nama Arab, karena memang telah ditemukan oleh astronomer Arab di Golden Era. Kemajuan sains dan filsafat berkembang pesat di Baghdad, menjadikan Arab dan Islam termasyhur di dunia saat itu. Orang-orang dari segala bangsa berdatangan ke Baghdad untuk melihat kemegahan Islam. Pluralitas menjadi bagian Islam pada saat itu.

Seiring berjalannya waktu, masa keemasan Islam hancur ketika sang filsuf Al-ghazali mempopulerkan ajarannya bernada: ”sains itu jahat, hasil karya Iblis”. Sains dianggap jahat, dilarang, dan dikecam sehingga membuat Islam jatuh, dari agama progresif menjadi regresif seperti sekarang. Selama tiga abad, Islam adalah mercusuar sains. Tapi sejak Al-ghazali muncul Islam menjadi stagnan.Ajaran Al-ghazali menyebar luas ke seluruh kerajaan Islam, meruntuhkan kemajuan peradabannya.

Seribu tahun sudah berlalu sejak jaman keemasan Islam, hingga hari ini, masih belum bisa memulihkan kejayaannya seperti dahulu. Seribu tahun berlalu sejak Islam menjadi pusat sains, sampai hari ini, tidak ada lagi penemuan atau penelitian saintifik di dunia Islam. Mereka larut dalam romansa kejayaan masa lalu, selalu berfantasi mundur ke belakang dan jarang melakukan auto-critics.

Sejarah kejatuhan Islam dari jaman keemasan, menunjukkan betapa peradaban menjadi sangat rentan bila peradaban berbasiskan agama. Agama mempersatukan, memberi harapan, mendorong kemajuan, tapi di satu sisi juga menghancurkan dan menghambat kemajuan. Mau sampai kapan Islam terus ada di tingkat terendah peradaban? Terus berkutat dengan mistis, sementara bangsa lain maju terus.

Sejarah mengakui Islam memenangkan Perang Salib dengan telak. Berhasil menguasai Byzantine, membuat Eropa kalang kabut. Di saat pasukan Eropa hanya bermodal pedang dan kuda, pasukan Arab sudah memakai teleskop dan menghitung bintang untuk navigasi. Tapi lihat sekarang, betapa dalamnya Islam telah jatuh. Tidak ada lagi sisa-sisa kejayaan dan kebanggaan, yang ada hanya kemunduran. Islam sekarang terlalu sibuk mengurusi jenggot dan hijab, sehingga lupa berpartisipasi dalam membangun peradaban yang maju. Dulu dikenal sebagai penemu bintang, sekarang dikenal sebagai teroris. Islam oh Islam, betapa dalamnya engkau telah terpuruk.

Salah satu faktor kemajuan Islam dalam bidang IPTEK yaitu karena dahulu Baghdad adalah pusat perdagangan. Artinya, Baghdad merupakan tempat di mana orang dark berbagai agama ataupun suku sharing mengenai ilmu pengetahuan. Apa keywordnya adalah “islam” yang membuat Baghdad maju? Tidak sama sekali. Tetapi, dikarenakan banyak suku yang saling berbagi ilmu.

Dalam islam, Al-ghazali tidak jauh berbeda dengan Socrates di dunia barat. Ia dianggap sebagai filosofer penting. Pengaruh Al-ghazali, tidak hanya terbatas pada sufism. Tapi, juga berpengaruh pada pemikiran sekolah dengan moral islam. Sharia bukan sekedar hukum agama, sharia adalah hal yang mengatur semua aspek perilaku individu, termasuk hal pribadi. Matematika adalah tulang punggung dari sains. Apa bisa sains berkembang tanpa matematika? Matematika, adalah sebuah bahasa yang kita ciptakan, dari keterbatasan kita untuk berkomunikasi dengan semesta.

Berapa banyak jumlah muslim di dunia saat ini? Mungkin kurang dari 1 milyar. Berapa banyak hadiah noble yang dimenangkan oleh muslim? Sedangkan itu, berapa banyak jumlah orang yahudi di dunia? Mungkin sekitar 15 juta. Tetapi 1/4 hadiah nobel, dimenangkan oleh mereka. Masih ingatkah ketika Richard Dawkins menyinggung hal ini, banyak muslim merasa tersinggung. But, if it is hurtful, maybe because it is true.

Gocap Untuk Jokowi-JK

Standard

Berangkat dari hasil debat kandidat capres-cawapres Indonesia sesi pertama yang digelar Komisi Pemilihan Umum sebagai salah satu tahapan dalam pilpres dan disiarkan langsung oleh stasiun TV dengan mengangkat topik “Pembangunan demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan kepastian hukum”, sontak jemari saya terasa gatal ingin sedikit menari di atas keyboard. Tentu diluar sana juga sudah banyak masyarakat mulai menimbang dan mencermati cuap-cuap kedua kubu capres, termasuk anda.

Saya tidak mau terlalu panjang lebar mengupas lapisan bawang ucapan dilontarkan oleh kedua kubu. Toh, debat keduanya masih banyak bergulat dalam hal normatif. Tapi yang menarik adalah, melunturnya kekhawatiran masyarakat kalangan menengah memandang Jokowi yang selama ini mempunyai kekurangan kemampuan dalam berorasi. Menurut hemat saya, kalau diibaratkan pertandingan tinju, kubu nomor urut satu lebih banyak digebuk oleh kubu lawan. Serangan demi serangan dilancarkan oleh pasangan nomor urut 2. Saya melihat, serangan Jokowi agak santun, hanya mengenai ujung rambut sasaran, berbeda dengan wakilnya Jusuf Kalla, beliau lebih berani menembak ke jantung lawan.

Meski pasangan Prabowo-Hatta banyak melakukan blunder yang kemudian bisa dimanfaatkan lawan, saya belum mau berpihak ke salah satu kubu. sejenak saya berfikir. Kenapa Prabowo-Hatta tidak menyerang balik? Apakah ini bagian dari strategi mereka dengan membiarkan dirinya diserang? Atau memang isu-isu yang dilontarkan sudah diduga sebelumnya sehingga mereka lebih memilih membalikkan badan sambil bergumam: “Iya deh iya, gue salah”. Entahlah. Dilihat dari gaya mereka berbicara, kalau Prabowo cocok menjadi orator, Hatta sebagai penceramah, Jusuf Kalla sebagai pendebat, dan Jokowi sebagai pelaku.

Saya tidak begitu memuja sosok, tokoh atau figur, karena takut nanti ada pengkultusan. Saya lebih tertarik dengan ide-ide dari figur-figur tersebut bagaimana membangun Indonesia menjadi lebih baik. Kalau dari beberapa segmen atas penyampaian visi-misi dan bagaimana mereka menjawab pertanyaan dari moderator, kubu nomor 1 cenderung berbicara future tense, sedang kubu lawan past tense. Wajar saja, hal ini didasarkan oleh lebih banyaknya pengalaman Jokowi-JK dalam mengurus sipil. Tentu mereka lebih banyak tahu strategi-strategi apa yang cocok untuk digunakan dalam mengatur roda pemerintahan.

Baiklah, kalau boleh saya kasih skor atas debat capres tadi malam, saya berani berpendapat bahwa pasangan Jokowi-JK lah pemenangnya. Tapi ingat, ini baru minggu pertama, kalau tidak salah masih ada empat kali debat lagi. Tentu kalau anda bertanya saya akan memilih siapa, saya jawab saat ini masih memilih untuk golput. Meski demikian, diam-diam saya berdonasi ke rekening tim kampanye Jokowi-JK. Tidak banyak sih, cuma gocap. Saya berharap tim Jokowi-JK bisa memanfaatkan uang donasi rakyat untuk membantu mereka berkampanye. Tidak bermaksud untuk riyya atau apa, alasan saya sederhana, biar kampanye keduanya seimbang.

Daripada kita banyak melihat selebtwit yang memasang ava merah, lebih baik kita benar-benar memberikan sumbangsih nyata untuk Indonesia.